Kisah Pulau Solomon
Penduduk di Pulau Solomon, ketika akan
membuka lahan bercocok tanam di dalam hutan, konon tidak perlu menebang
dan membakar hutan. Mereka cukup beramai-ramai mengitari tiap pohon
sambil berteriak-teriak jorok, membentak dan berkata kasar. Dengan cara
ini, ternyata selang beberapa hari sesudahnya pohon-pohonan layu,
kering, mati, dan akhirnya tumbang.
Selama
ini tanpa sadar kita mungkin telah ”membunuh” anak, baik anak kita
sendiri maupun anak didik kita, dengan cara yang hampir sama dengan cara
orang Solomon: membentak keras saat anak melakukan kesalahan,
mengucapkan kata-kata kasar, dan memberi stigma buruk dengan kata bodoh,
ceroboh, malas, dan sebagainya. Maka jadilah anak-anak yang benar-benar
bodoh, ceroboh, malas, dan lain-lain sebagaimana kita ucapkan.
Berhati-hatilah!
Sebab rasanya tidak mungkin kita berniat ”membunuh” anak kita atau
murid kita. Kita ingin mereka berkembang menjadi manusia dewasa yang
mandiri, terampil, berkepribadian luhur, dan memiliki tanggung jawab.
Tak mungkinlah kita berharap agar anak-anak kita menjadi ”layu”, dan
akhirnya ”mati”.
Saya
memang terinspirasi dengan sebuah dealog dalam film India berjudul
”Taare Zamen Par”. Tapi esensinya sangat penting dan realistis untuk
kita implementasikan dalam pendidikan anak-anak kita.
Film
ini mengisahkan seorang anak jenius tetapi mengalami kesulitan
mengingat simbol angka maupun huruf. Huruf ”b” bertukar dengan huruf
”d”, huruf ”z” dengan ”s”, angka ”6” dengan angka ”9”, dan sebagainya.
Ketika membaca buku, si anak jenius melihat huruf-huruf bergerak-gerak
seperti menari-nari. Dia pun tertawa tanpa sepatah kata pun terucapkan.
Lalu, guru menilainya sebagai anak bodoh, anak terbelakang, dan anak
nakal. Di rumah si anak mengalami kekerasan dari ayahnya dan
membandingkannya dengan kakaknya yang selalu penurut dan juara pelajaran
maupun olah raga. Untunglah, ketika si anak diasingkan di sebuah
sekolah berasrama, dia bertemu dengan sosok seorang guru yang humanis,
sabar, empatik, nyeni, dan pernah mengalami kasus yang sama dengan si
anak jenius.
Di
sinilah kemudian terungkap bahwa si anak ini mengalami kelainan bawaan
yang bernama ”dislexia”. Dia jenius, tapi memang butuh perlakuan khusus.
Guru ini berhasil menolong anak jenius berkembang dengan kecerdasan
melebihi anak-anak pintar di kelasnya, pada saat hampir saja anak itu
mengalami depresi, putus asa dan ”mati”.
Ternyata,
Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Bill Gates, James Watt, Thomas Alfa
Edison, Agatha Christie dan tokoh-tokoh lain dalam sejarah dunia adalah
anak-anak ”dislexia”. Alangkah sayangnya kalau tokoh-tokoh yang banyak
mengubah dunia ini tak tertolong saat kecilnya. Dan mungkin banyak
anak-anak seperti ini ada di sekitar kita.
Sebuah
pencerahan bagi kita, baik sebagai orang tua maupun seorang guru:
Terimalah anak-anak kita apa adanya. Bantulah mereka saat mengalami
kesulitan, sugestilah dengan kata-kata positif, dan biarlah mereka
berkembang sesuai jati dirinya. Tanpa kekerasan, tanpa kata-kata kotor,
dan tanpa stigma buruk. Hentikan memvonis anak kita dengan kata ”dasar
bodoh”, ”dasar malas”, ”dasar bandel”, dan sejenisnya!
Ada
sebuah penelitian yang diceritakan Ajah Brahm, seorang Amerika lulusan
Fisika yang memilih menjadi biksu di pedalaman hutan Thailand. Anak-anak
satu jenjang pendidikan dibagi dua kelas, kelas A dan kelas B. Kelas A
diberi label kelas unggulan dan kelas B diberi label kelas biasa.
Tanpa
sepengetahuan siapa-siapa (kecuali peneliti), anak-anak dalam kedua
kelas itu sebenarnya pada awalnya dapat dikatakan homogen, atau tidak
ada perbedaan yang siginikan. Sama-sama pintar, sama-sama cerdas. Lalu,
keduanya diajar dengan guru-guru yang sama, metode yang sama dan
fasilitas yang sama. Perbedaan perlakuan hanya pada pemberian label
unggulan dan biasa. Apa yang terjadi pada akhir tahun? Anak-anak dalam
kelas unggulan ternyata memiliki prestasi yang benar-benar unggul,
sementara anak-anak dalam kelas biasa, prestasinya juga biasa-biasa
saja. Sebuah bukti ilmiah bahwa anak-anak akan menjadi yang seperti kita
labelkan padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar